JAKARTA, NETRALNEWS.COM - Praktisi hukum Hendarsam Marantoko mengkritik Ketua Komite Pencegahan Korupsi (KPK) Ibu Kota dan Bidang Hukum Bambang Widjojanto (BW) yang memberikan rekomendasi kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan soal sengketa tanah antara Bank DKI melawan ahli waris The Tjin Kok, Ham Sutedjo.
Hendarsam menilai, rekomendasi BW kepada Anies Baswedan mencederai rasa kepastian hukum, karena kasus itu telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht), dimana ahli waris The Tjin Kok ditetapkan Mahkamah Agung (MA) sebagai pemenang perkara, sehingga Bank DKI dan Gubernur DKI harus mematuhi keputusan tersebut.
“Rekomendasi yang diberikan Bambang Widjojanto kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengandung makna bahwa dia tidak taat pada aturan hukum yang berlaku dan tidak menghormati proses dan putusan hukum yang berlaku,” kata Hendarsam kepada wartawan, Kamis (23/7/2020).
Hendarsam mengatakan, penilaian BW bahwa putusan yang sudah inkracht itu sebagai putusan yang di dalamnya terdapat pertimbangan-pertimbangan hukum yang tidak sesuai hukum, menunjukkan BW telah mencederai rasa kepastian hukum itu sendiri. “Suka atau tidak suka, suatu putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap harus dijalankan secara konsisten,” tegasnya.
Wakil Ketua Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) ini mengingatkan, sebagai institusi negara, Pemprov DKI Jakarta seharusnya dapat menjadi contoh yang pertama dalam rangka kepatuhan terhadap penegakkan hukum yang berlaku, bukan sebaliknya.
“Kalau putusan pengadilan sudah berkekuatan hukum tetap dan segala upaya yang dilakukan Bank DKI dan Gubernur terkait permasalahan hukum tersebut sudah dilakukan, maka tidak ada jalan lain, tidak boleh cari-cari cara lain, harus menjalankan putusan secara sukarela,” ujarnya.
Lebih jauh, Hendarsam mempertanyakan kapasitas BW dalam menilai putusan hakim dan pertimbangan hukum hakim yang sudah punya kekuatan hukum tetap itu. “Sebagai advokat, praktisi hukum dan mantan komisioner KPK, seharusnya dia memberikan suatu contoh dan panutan yang baik dalam hal mematuhi dan menjalankan penegakkan hukum yang ada,” pungkasnya.
Seperti diberitakan, Gubernur DKI Jakarta dan Bank DKI tengah bersengketa dengan ahli waris The Tjin Kok dalam perkara pembayaran sewa gedung di Jalan Pintu Besar Selatan Nomor 67, Jakarta Barat, dimana Bank DKI sebagai Tergugat I, Gubernur DKI Jakarta sebagai Tergugat II, dan Ham Sutedjo, ahli waris almarhum The Tjin Kok sebagai penggugat.
Perkara ini telah inkracht pada 2008 dengan terbitnya putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA), namun hingga kini Bank DKI belum juga mengeksekusi putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) pada 2002 untuk memenuhi kewajibannya kepada ahli waris The Tjin Kok.
Bahkan perkara cenderung makin tak jelas kapan dapat selesai setelah pada 7 Juli 2020 lalu Bambang Widjojanto memberikan rekomendasi kepada Gubernur Anies agar menunda dulu eksekusi putusan itu untuk mencari upaya hukum lain. Karena menurutnya, pertimbangan hakim untuk mengabulkan gugatan The Tjin Kok banyak didasarkan pada asumsi, tanpa dasar bukti yang kuat.
“Tidak ada bukti sewa menyewa apalagi bukti jual beli oleh PT Bank DKI atas tanah dan bangunan yang terletak di Jalan Pintu Besar Selatan No. 67, Jakarta. PT Bank DKI hanya menempati tanah dan bangunan tersebut selama 2 tahun atas perintah penguasa perang sebagai pemegang kuasa atas bangunan ber-SIP, namun pengadilan memutuskan bahwa Bank DKI dan Gubernur DKI Jakarta harus membayar ganti rugi secara tanggung renteng sebesar Rp. 2.233.000.000 ditambah dengan bunga,” kata BW dalam surat rekomendasi itu.
BW bahkan juga merekomendasikan hal-hal berikut ini;
1. PT Bank DKI agar mengirimkan surat juga terkait non executable kepada PN Jakpus dengan muatan yang lebih rinci;
2. Perumda Pasar Jaya sebagai pemegang saham minoritas PT Bank DKI agar membuat gugatan baru;
3. PT Bank DKI agar melaporkan kepada KY terkait unprofessional conduct yang dilakukan atas putusannya dalam kasus ini;
4. PT Bank DKI dapat mempersoalkan siapa sesungguhnya yang memiliki legalitas atas objek yang disengketakan.
Sengketa ini berawal ketika Bank DKI didirikan pada 1961.
Atas izin Penguasa Perang Daerah Djakarta Raja (sekarang kepala Dinas Perumahan), Bank DKI menempati gedung milik The A Lin (ayah The Tjin Kok) di Jalan Pintu Besar Selatan nomor 67, namun hingga bank milik Pemprov DKI Jakarta itu pindah ke gedung miliknya sendiri di Jalan Juanda III Nomor 7-9, Jakarta Pusat, Bank DKI tidak membayar sewa sepeser pun.
Pada 2002, The Tjin Kok menggugat Bank DKI dan Gubernur DKI Jakarta ke PN Jakpus, dan dimenangkan pada 6 Mei 2002 berdasarkan putusan No. 23/PDT.G/2002/PN.JKT.PST, dimana dalam putusan itu, Bank DKI sebagai Tergugat I dan Gubernur DKI Jakarta sebagai Tergugat II, dikenai kewajiban membayar ganti rugi sebesar Rp17 miliar secara tanggung renteng.
Bank DKI mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, tapi kalah. Perlawanan dilanjutkan dengan mengajukan kasasi ke MA, namun kalah lagi.
Upaya terakhir yang dilakukan BUMD itu dan Gubernur, yakni dengan mengajukan PK ke MA, juga kalah, sehingga dengan demikian saat putusan PK MA terbit pada 2008, putusan PN Jakpus telah inkracht.
Meski demikian, Bank DKI dan gubernur Jakarta kala itu, Fauzi Bowo, tak mau mengeksekusi putusan pengadilan, sehingga tiga tahun kemudian atau pada 2011, The Tjin Kok mengajukan permohonan sita eksekusi ke PN Jakpus, dan dikabulkan.
Tak mau menyerah, Bank DKI dan Gubernur Jakarta melakukan perlawanan dengan mengajukan banding ke PT DKI, dan ditolak pada 2013. Bank DKI dan Gubernur Jakarta lalu mengajukan kasasi ke MA, namun melalui putusan Nomor.2342 K/Pdt/2014, MA juga menolak.
Bank DKI dan Gubernur Jakarta kala itu, Jokowi, balik menggungat The Tjin Kok dan seseorang bernama Rudy Harsono, namun kalah lagi, baik di pengadilan tingkat pertama maupun kasasi, karena pada 2015, melalui Putusan MA Nomor 515 PK/Pdt/2015, MA menolak gugatan tersebut.
Meski demikian, Bank DKI dan Gubernur Jakarta tak juga melaksanakan tiga putusan pengadilan yang semuanya telah inkracht.
Berdasarkan Berita Acara Panggilan Menghadap No. 043/2010.Eks tanggal 29 November 2016, Bank DKI berjanji akan memenuhi kewajibannya hingga Maret 2017, namun hingga tenggat waktu itu lewat, Bank DKI lagi-lagi tak juga melaksanakan kewajiban.
Ham Sutedjo, anak kandung The Tjin Kok yang meneruskan kasus ini setelah ayahnya meninggal, sempat mengadu kepada Gubernur Anies Baswedan, namun meski Anies telah mengeluarkan disposisi, Bank DKI tak juga memenuhi kewajibannya melaksanakan putusan pengadilan, sehingga pada 3 Mei 2020 lalu Ham mengajukan permohonan lelang eksekusi ke PN Jakpus untuk gedung Bank DKI yang berada di Jalan Juanda III Nomor 7-9, dan dikabulkan.
Karena eksekusi atas putusan-putusan pengadilan yang sebelumnya juga tidak dilakukan, akhirnya pada 13 Juli 2020 lalu PN Jakpus mengeluarkan putusan baru berupa pemberian waktu pelaksanaan putusan selama delapan hari.